Terima Kasih Atas Kunjungannya Karya dari anhy wardani anak ekonomi Kampus umi

Kamis, 02 Mei 2013

Pandangan Islam Tentang Wanita Bekerja

Hay hay sobat  saya disini hanya sedikit share pengetahuan yang saya kira cukup bermanfaat untuk sahabat semua . !

Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
“…Sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (QS. Ali Imran: 195)
Manusia merupakan makhluk hidup yang di antara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki – dan dengan amal yang lebih baik secara khusus – untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan…’” (QS. Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Selain itu, wanita – sebagaimana biasa dikatakan – juga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Dewasa ini tampak semakin banyak wanita yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak pula para wanita yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidaklayakan perlakuan. Diantaranya cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual. Lalu bagaimana Islam memandang permasalahan ini ?
A. Wanita Bekerja, Bolehkah ?
Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Artinya pria dan wanita diciptakan memiliki cirri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu pria maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria. Dengan demikian wanita tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Wanita justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila wanita tersebut telah menikah) atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah wanita tersebut kepada Daulah (Baitul Maal). Bukan dengan jalan mewajibkan wanita bekerja.
Pertama: Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang maha mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang maha tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).
Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya sia-sia, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Begitu pula firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).
Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Sungguh, jika aturan ini benar-benar kita terapkan, dan kita saling memahami tugas masing-masing, niscaya terbangun tatanan masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
Ketiga: Bolehkah wanita bekerja?
Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman (yang artinya):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
AKAN TETAPI, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah dan kemungkaran. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.
Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan masyarakatnya.
Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)
Keempat: Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:
  1. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
  2. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
  3. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
  4. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
  5. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
  6. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
Kelima: Jawaban pertanyaan anda sangat bergantung dengan pekerjaan dan keadaan anda.
Apa suami mengijinkan anda untuk bekerja? Apa pekerjaan anda tidak mengganggu tugas utama anda dalam rumah? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja anda sekarang keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apa anda sudah dalam kondisi darurat, sehingga apabila anda tidak bekerja itu, anda akan terancam hidupnya atau paling tidak hidup anda akan terasa berat sekali bila anda tidak bekerja? Jika memang demikian, sudahkah anda menerapkan adab-adab islami ketika anda keluar rumah? InsyaAllah dengan uraian kami di atas, anda bisa menjawab sendiri pertanyaan anda.
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)
dan firman-Nya (yang artinya):
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),
juga sabda Rasul -shallallahu alaihi wasallam- “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)
“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).
Terakhir: Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan mengekang wanita?!
Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam, mereka menyuarakan pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin menjadikan para wanita sebagai obyek nafsunya, mereka ingin bebas menikmati keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan martabatnya, mereka ingin merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau mempertontonkan auratnya, sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.
Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang terlihat mencapai posisi yang tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka dijadikan sebagai obyek dagangan hingga harus menjual kehormatan mereka, penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias barang dagangan, pemoles iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka dituntut untuk berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan kewajiban mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus. Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di sini, mereka juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka rusak lahir batinnya, dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan mengajak kaum wanita kita -dengan berbagai cara- agar mau keluar dari rumah mereka.
Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab rusaknya tatanan masyarakat mereka berikut ini:
Lord Byron: “Andai para pembaca mau melihat keadaan wanita di zaman yunani kuno, tentu anda akan dapati mereka dalam kondisi yang dipaksakan dan menyelisihi fitrahnya, dan tentunya anda akan sepakat denganku, tentang wajibnya menyibukkan wanita dengan tugas-tugas dalam rumah, dibarengi dengan perbaikan gizi dan pakaiannya, dan wajibnya melarang mereka untuk campur dengan laki-laki lain”.
Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun… Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, jilid 1, hal: 425-426)
Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari keluarnya wanita dari rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan syariat yang paling tepat untuk manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi untuk mengatur jalan hidup manusia, menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi dan tubuh manusia, Islam akan memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan memperbaiki tubuh manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri, Islam mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan demikian…
Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar hidupnya menjadi baik, selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah cara Islam menghormati wanita, menjauhkan mereka dari pekerjaan yang memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari bahaya yang banyak mengancam mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka dari niat jahat orang yang hidup di sekitarnya…
Kalau begitu, bolehkah wanita bekerja ? Masih perlukah ia mencari nafkah dengan bekerja ?
Sekalipun wanita telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkan wanita bekerja untuk mendapatkan harta/ uang. Islam membolehkan wanita untuk memiliki harta sendiri. Bahkan wanita pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman : “… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja wanita harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia bekerja. Artinya wanita tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja. Wanita juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru wanita harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi wanita adalah mubah. Dengan hukum ini wanita boleh bekerja dan boleh tidak. Apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika kelaur rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa ketika Allah Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik. Sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya. Sebaliknya bila tugas pokok bagi kaum wanita ini tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok wanita ini ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya). Ada pula yang berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan wanita dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi wanita dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak adanya penetapan prioritas tersebut.
B. Dimanakah Wanita Akan Bekerja ?
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri. Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan suatu keharusan yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.
Namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki harta.
Tatkala bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila kita telaan secara mendalam, hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria maupun wnaita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat ; menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia memutuskan untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh. Bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa jasa para buruh, usahanya tidak dapat berjalan apalagi berkembang. Dengan demikian para buruh wanita tidak akan terjerumus pada polemik yang berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Sulitnya dalam kondisi seperti sekarang ini, dimana situasi perekonomian didominasi oleh Kapitalis, posisi tawar buruh di hadapan majikan sangat rendah. Sebab banyak kelompok pencari kerja yang bekerja hanya demi sesuap nasi, akibat rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Akibatnya para buruh (termasuk buruh wnaita) tidak bebas memilih jenis pekerjaan dan situasi bekerja yang dikehendakinya. Oleh karena itu agar posisi tawar buruh tetap tinggi di hadapan majikan dalam memilih jenis dan bentuk pekerjaan, situasi bekerja, dan lain-lain, maka para buruh harus senantiasa berusaha meningkatkan keahliannya agar orang lain membutuhkannya. Ia sendiri yang harus menciptakan pasar bagi jasanya. Ini usaha yang dilakukan secara individu.
C. Pengaturan Sistem Interaksi Pria dan Wanita
Pengaturan sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Dengan demikian Islam sejak awal telah menjaga agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
1. Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu :
• Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat.
• Menahan diri dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS An Nur 31 “Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
2. Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59).
“… dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).
Yang dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua kaki.
3. Dilarang berkhalwat antara pria dan wanita.
Sabda Rasulullah Saw “tidak boleh berkhalwat antara laki-laki dengan wanita kecuali bersama wanita tadi ada mahram”
4. Dilarang bagi wanita bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya).
Sabda Rasulullah Saw “barang siapa seorang wanita yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan kaum laki-laki, sehingga tercium bau wanginya, maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
5. Dilarang bagi wanita untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya.misalkan, pramugari, foto model, artis, dsb.
6. Dilarang bagi wanita untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
Sabda Rasulullah Saw “Tidaklah halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7. Dilarang bagi wanita bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua itu ditetapkan oleh Islam tidak lain adalah untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.
Dewasa ini banyak di kalangan wanita (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja). Walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara umum).
Sesungguhnya seorang muslim, siapapun dia, dan dalam posisi apapun kedudukannya di tengah masyarakat, tetap terbebani kewajiban melaksanakan aturan-aturan yang diperintahkan Allah Swt. Namun kembali lagi kepada seluruh kaum muslimin, merekalah yang harus mengembalikan agar warna sistem ini sesuai dengan apa yang diridhai Allah Swt. Perjuangan ini memerlukan pengorbanan yang besar dari berbagai pihak secara bersama. Maka dakwah untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam adalah langkah yang nyata mewujudkan cita-cita ini.
Bagi para muslimah, hendaknya mereka berusaha sekuat kemampuannya melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah disyariatkan Allah Swt dengan menjalankan seluruh kewajiban sebaik-baiknya (termasuk mengemban dakwah tadi). Menghilangkan berbagai motivasi dan tujuan yang hanya disandarkan pada materi, manfaat dan berbagai unsur lain selain dari keridhaan Allah Swt. Menempatkan keridhaan Allah Swt sebagai unsur tertinggi, yang dengan hal tersebut akan dapat diraih derajat yang mulia disisiNya. InsyaAllah.

Selasa, 22 Januari 2013

jenis pajak dan asas-asas pemungutan pajak

Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.




2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya


3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah 

4. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Penga

2.ASAS-ASAS PEMUNGUTAN  PAJAK  
 1.      Asas Keadilan    
 a.     Menurut Teori yang mendasari  Pengertiannya

1)      Asas Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
2)      Asas Certainty
Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas waktu pembayaran
3)      Asas Convenience of Payment
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh penghasilan.
4)      Asas Economy
Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul.